HVSMEDIA.ID - Pada bulan April lalu, Presiden China Xi Jinping mengunjungi sebuah perusahaan pembuat robot humanoid.
Di sana, ia sempat melontarkan ide mengejutkan untuk mengatasi buruknya performa tim nasional sepak bola putra China.
"Bisakah robot bergabung dengan tim nasional?" ujar Xi seperti dikutip dari situs resmi Zhiyuan Robotics.
Sayangnya, ide itu mungkin sudah terlambat. China bisa tersingkir dari Kualifikasi Piala Dunia 2026 jika gagal mengalahkan Indonesia pada Kamis (5/6/2025). Bahkan jika menang, harapan mereka tetap tipis.
Kenapa Sepak Bola Jadi Masalah di Negara Raksasa Ini?
China punya populasi 1,4 miliar, ekonomi terbesar kedua dunia, dan 40 medali emas di Olimpiade Paris 2024. Tapi tetap saja, negara ini belum mampu mencetak 11 pemain sepak bola putra kelas dunia.
Pemerintah China memang punya kendali besar dalam hampir semua aspek kehidupan, termasuk industri.
Pendekatan top-down ini sukses menjadikan China sebagai produsen utama barang-barang global. Tapi saat metode yang sama diterapkan pada sepak bola, hasilnya jauh dari harapan.
Zhang Feng, seorang jurnalis dan komentator asal China, menyebut sepak bola adalah cerminan dari masalah sosial dan politik negara tersebut.
"China bukanlah masyarakat bebas. Tidak ada kepercayaan antarpemain di level tim, karena mereka khawatir satu sama lain," katanya.
Zhang juga menyoroti tekanan politik dalam dunia sepak bola. Sejak Xi Jinping terang-terangan menyatakan ambisinya untuk memajukan sepak bola, justru banyak birokrat memanfaatkan situasi ini untuk memperbesar kekuasaan dan menambah korupsi.
Tekanan dan Ketakutan
Setelah kemenangan tipis 2-1 atas Thailand pada 2023, Xi sempat bercanda kepada PM Thailand, Srettha Thavisin. "Sepertinya keberuntungan berperan besar," ujar Xi.
Sayangnya, struktur dan sistem sepak bola di China tidak berkembang. Jumlah pemain muda berbakat terlalu sedikit, intervensi politik terlalu besar, dan korupsi masih merajalela.
Wang Xiaolei, komentator sepak bola lainnya, menyebut bahwa budaya sepak bola tak sejalan dengan sistem pendidikan dan pemerintahan China yang kaku dan menekankan hafalan.
"Sepak bola butuh kreativitas dan semangat, bukan dogma," tulisnya dalam sebuah blog.
Kekalahan Demi Kekalahan
Kekalahan memalukan 0-7 dari Jepang tahun lalu menunjukkan betapa terpuruknya timnas China. Padahal, Jepang adalah rival geopolitik utama.
China hanya pernah lolos satu kali ke Piala Dunia, yaitu tahun 2002, dan saat itu mereka kalah di semua laga tanpa mencetak satu gol pun. Saat ini, peringkat FIFA mereka di posisi 94 — bahkan di bawah Suriah yang dilanda perang.
Sebagai perbandingan, Islandia dengan jumlah penduduk hanya sekitar 400 ribu sudah pernah tampil di Piala Dunia.
Bahkan saat ini, tidak ada satu pun pemain China yang bermain di liga top Eropa. Hanya Wu Lei, pemain terbaik mereka, sempat bermain tiga musim di La Liga bersama Espanyol — klub yang sebagian sahamnya juga dimiliki investor China.
Meski Piala Dunia 2026 akan diikuti 48 tim, peluang China tetap kecil. Jika kalah dari Indonesia, mereka dipastikan tersingkir. Kalaupun menang, mereka harus kembali menang atas Bahrain pada 10 Juni agar bisa melaju ke babak selanjutnya.
Budaya Sepak Bola yang Terhambat
Rowan Simons, komentator asal Inggris yang sudah 40 tahun tinggal di China, menyebut bahwa reformasi yang mewajibkan sepak bola di sekolah memang membantu.
Tapi menurutnya, budaya sepak bola sejati tumbuh dari relawan, masyarakat sipil, dan klub independen — yang semuanya tidak bisa berkembang di bawah kendali Partai Komunis.
"Di usia 12 atau 13 tahun, ketika anak-anak masuk SMP, tekanan akademis langsung meningkat. Sepak bola pun ditinggalkan," jelasnya.
Sebenarnya, tim wanita China sempat lebih berprestasi. Mereka menjadi runner-up Piala Dunia Wanita 1999. Namun kini pun sudah tertinggal dari negara-negara Eropa. Di Piala Dunia Wanita 2023, China dihajar 1-6 oleh Inggris di babak grup.
Fokus utama China masih pada cabang Olimpiade yang butuh repetisi dan ketekunan — seperti loncat indah, tenis meja, dan angkat besi. Olahraga beregu seperti sepak bola dianggap kurang menguntungkan karena hanya menyumbang satu medali.
Korupsi yang Merusak
Li Tie, pelatih timnas China antara 2020–2022, tahun lalu dijatuhi hukuman 20 tahun penjara karena suap dan pengaturan skor. Banyak pejabat sepak bola lainnya juga terseret kasus serupa.
Korupsi juga merambah Liga Super China. Klub-klub menghabiskan dana besar untuk mendatangkan pemain asing, banyak didanai perusahaan milik negara dan pengembang properti yang kini bangkrut.
Guangzhou Evergrande adalah contohnya. Klub raksasa ini dulu dilatih Marcello Lippi dan delapan kali juara liga. Tapi kini bubar karena terlilit utang, seiring runtuhnya bisnis properti pemiliknya, Evergrande.
Zhang menyebut banyak pengusaha mendirikan klub sebagai “persembahan politik”, termasuk Hui Ka-yan, pemilik Evergrande. Ia membiayai klub untuk mendapat simpati pejabat tinggi.
Total utang Evergrande kini mencapai USD 300 miliar — mencerminkan parahnya sektor properti dan ekonomi China secara keseluruhan.
“Gagal di tingkat internasional dan korupsi yang merajalela membuat banyak orang tua enggan memasukkan anaknya ke dunia sepak bola,” kata Simons, pendiri klub sepak bola muda China Club Football FC.
“Mereka melihat situasi yang terjadi dan bertanya: ‘Apa ini masa depan yang pantas untuk anak saya?’ Sangat disayangkan.” (*)
Source: AP