HVSMEDIA.ID - Keresahan warga Samarinda kian memuncak akibat melambungnya harga gas melon bersubsidi (3 kg), yang dalam beberapa pekan terakhir dijual hingga Rp50 ribu per tabung di tingkat pengecer, jauh melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Kondisi ini memukul keras masyarakat, terutama keluarga berpenghasilan rendah yang sangat bergantung pada gas untuk kebutuhan memasak sehari-hari.
Seorang warga bahkan mengaku terkejut saat mengetahui harga gas mencapai Rp50 ribu, padahal sebelumnya harga Rp35 ribu saja sudah dianggap mahal.
Anggota Komisi III DPRD Samarinda, Abdul Rohim, angkat bicara.
Ia menilai lonjakan harga dan kelangkaan gas ini bukan kesalahan pemerintah daerah, melainkan kegagalan sistem distribusi yang sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Pertamina.
Lebih jauh, ia menduga ada praktik mafia energi yang bermain di balik kekacauan ini, oknum yang sengaja menimbun dan memanipulasi distribusi demi keuntungan pribadi, menjadikan rakyat sebagai korban.
Rohim menyebut, pihaknya bahkan telah mengajak masyarakat untuk mempertimbangkan langkah hukum terhadap Pertamina sebagai bentuk perlawanan, mengingat upaya pendekatan melalui pemerintah daerah sejauh ini tidak membuahkan hasil yang berarti.
Tak hanya itu, ia juga menyinggung janji manis Pertamina soal layanan bengkel gratis bagi kendaraan rusak akibat BBM tercemar yang hingga kini tak kunjung terealisasi.
Ini, menurutnya, mencerminkan lemahnya tanggung jawab perusahaan.
Menurut Abdul Rohim, kuota gas subsidi untuk Samarinda sebenarnya memadai.
Namun distribusi yang amburadul membuat gas malah jatuh ke tangan yang tak berhak, bukan keluarga miskin atau pelaku UMKM.
Akibatnya, harga eceran yang seharusnya hanya Rp18 ribu melambung hingga Rp50 ribu, bahkan mencapai Rp70 ribu di beberapa titik.
Sebagai respons cepat, DPRD Samarinda merekomendasikan digelarnya operasi pasar murah di berbagai kecamatan, seperti di Samarinda Ulu dan Seberang.
Program ini diharapkan rutin dilakukan agar warga tetap bisa mengakses gas melon sesuai HET.
DPRD Samarinda juga mendorong kerja sama lintas sektor antara pemda, Pertamina, agen, pangkalan, hingga aparat kecamatan untuk memperbaiki sistem distribusi.
Salah satu solusi konkret adalah menerapkan sistem satu pangkalan untuk beberapa RT, memperketat pengawasan, dan memblokir pembelian ganda oleh pihak yang tak berhak.
Kritik paling tajam Abdul Rohim ditujukan pada dominasi Pertamina yang seolah tak tersentuh dan tak bisa dikendalikan oleh pemerintah daerah.
Ia menilai hanya tekanan hukum dan sanksi dari pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM dan BUMN yang mampu menggoyahkan posisi Pertamina.
“Harus diberi treatment yang benar-benar membuat Pertamina sadar diri,” tegasnya.
Menurutnya, jika masyarakat bersuara lebih keras dan mulai menempuh jalur hukum, maka akan ada efek jera yang mendorong Pertamina untuk lebih serius menata distribusi, menjaga kestabilan harga, dan melindungi hak dasar rakyat atas energi bersubsidi. (adv)