Jumat, 9 Mei 2025

Pengepungan di Bukit Duri, Film Fiktif yang Sentuh Luka Nyata Tanah Air

Jumat, 2 Mei 2025 16:53

FILM INDONESIA - Para Pemain Film Pengepungan di Bukit Duri (Foto: Instagram @jokoanwar)

HVSMEDIA.ID - Film terbaru garapan Joko Anwar, Pengepungan di Bukit Duri, menghadirkan kisah distopia Indonesia tahun 2027 yang sarat akan kritik sosial. 

Melalui narasi yang menggugah, film Pengepungan di Bukit Duri ini menyoroti kegagalan sistem pendidikan, sosial, serta politik.

Papan tulis di sekolah itu tak lagi mengajarkan ilmu, tetapi memantulkan kemarahan, dan para siswa bukan bertumbuh dengan impian, melainkan memikul beban dendam yang diwariskan dari film Pengepungan di Bukit Duri.

Dilansir dari Avnmedia.id, lewat film Pengepungan di Bukit Duri, tersirat pesan bahwa bila keluarga, sekolah, dan negara lalai menjaga empati, prasangka serta luka lama akan cepat menjelma menjadi kekerasan yang terus berputar.Salah satu aspek yang memantik perdebatan dalam film Pengepungan di Bukit Duri adalah penggunaan bahasa kasar yang nyaris tanpa jeda.

Umpatan-umpatan tajam, seperti “anjing”, “kontol”, hingga “ngentot” berseliweran tanpa sensor.

Bagi sebagian penonton, ini terasa terlalu vulgar.

Namun bagi yang menangkap pesan di balik kekasaran itu, bahasa dalam film ini bukan sekadar alat komunikasi, ia telah berubah menjadi senjata.

Dalam dunia yang digambarkan Joko Anwar, kata-kata kehilangan makna dasarnya sebagai jembatan antarmanusia.

Sejalan dengan pemikiran Wittgenstein bahwa “bahasa adalah bentuk kehidupan”, kebrutalan verbal ini justru memperlihatkan bahwa yang rusak bukan sekadar dialog, melainkan kehidupan itu sendiri.

Film Pengepungan di Bukit Duri menyentuh hati banyak penonton, terutama dari komunitas Tionghoa dan pegiat HAM, yang merasakan kedalaman emosional dalam narasi Edwin, sosok guru yang merepresentasikan trauma kolektif minoritas etnis yang kerap menjadi sasaran amarah sosial.

Pengepungan di Bukit Duri hadir sebagai ruang yang langka, di mana kekerasan berbasis identitas ditampilkan tanpa basa-basi, jujur, tajam, dan menyayat.

Meski dipenuhi gelap dan amarah, film Pengepungan di Bukit Duri ini tidak berhenti di sana.

Di balik tiap adegan kelam, Joko Anwar menyelipkan pesan optimis bahwa rantai kekerasan bisa dipatahkan, bahwa kebencian tak harus diwariskan, dan bahwa kita masih punya pilihan untuk menciptakan masa depan yang lebih waras dan penuh welas asih.

Pengepungan di Bukit Duri bukan hanya sebuah tontonan, melainkan panggilan.

Sebuah karya yang berani, relevan, dan penting untuk zaman ini.

Lewat tangan Joko Anwar, film Pengepungan di Bukit Duri bukan sekadar mengguncang emosi, tapi juga membuka ruang kontemplasi dan percakapan tentang luka-luka sejarah, soal identitas yang terluka, dan arah masa depan bangsa.

Hal ini mengingatkan bahwa ketika sistem pendidikan gagal menanamkan empati, ketika media abai, dan masyarakat diam, maka kebencian akan tumbuh liar tanpa kendali.

Di titik itulah, film ini mengajak untuk berhenti dan bertanya, bukan hanya “apa yang telah terjadi?”, tapi juga: “apa yang bisa kita ubah agar segalanya tak terus berulang?” (shi/naf)

Tag berita:
Berita terkait