Sementara itu, dalam serial Bidaah, istilah ini justru dimanfaatkan sebagai alat manipulasi oleh tokoh sesat, mengaburkan ajaran agama demi kepentingan pribadi, dan menggantikan pernikahan resmi dengan dalih spiritualitas yang menyimpang.
Dari sisi filosofi, nikah batin di Padang Pariaman berakar pada ajaran sufistik yang menekankan kedekatan kepada Tuhan, keharmonisan batin antara pasangan, dan keberkahan dalam rumah tangga.
Berbanding terbalik, versi Bidaah justru sarat dengan eksploitasi, kontrol, dan penyalahgunaan kekuasaan yang mencederai nilai-nilai Islam sejati.
Dampaknya pun berbeda jauh, tradisi nikah batin di Padang Pariaman tidak menyalahi aturan hukum, baik agama maupun negara.
Sedangkan apa yang tergambar dalam serial tersebut jelas bertentangan dengan hukum syariat dan norma sosial.
Karenanya, penting bagi masyarakat untuk tidak menyamakan dua praktik yang secara substansi sangat berbeda ini.
Satu adalah warisan budaya dan spiritual, sementara yang lain hanyalah fiksi dramatis yang menyesatkan.
Pandangan Lembaga Keagamaan terhadap Praktik Nikah Batin
Menurut Kantor Urusan Agama (KUA) Padang Pariaman, pernikahan yang sah adalah yang sesuai dengan syariat Islam dan peraturan negara.
Oleh karena itu, mereka tidak mengakui ‘nikah batin’ sebagai pengganti pernikahan yang sah secara resmi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan para ulama pada umumnya juga menolak praktik ‘nikah batin’ yang tidak memenuhi rukun dan syarat pernikahan dalam Islam.
Sebuah pernikahan yang sah harus dilakukan dengan akad yang jelas, dihadiri wali, saksi, dan disertai mahar.