Sebelum itu, mereka udah lebih dulu nonton animatik, semacam blueprint film animasi yang dibentuk dari storyboard.
Jadi semua adegan digambar layaknya komik, disusun dalam urutan cerita, lalu diedit jadi satu film hitam-putih berdurasi penuh.
Musiknya dan sound effect-nya masih tempelan, bahkan beberapa suara karakter diisi sementara oleh tim sendiri.
“Ini sistem yang udah umum banget dipakai di industri animasi luar,” jelas Ryan Adriandhy.
Ryan Adriandhy pun cerita, Pixar sempat pakai metode ini waktu mau ngajak Tom Hanks balik untuk Toy Story 3, di mana om baru mau setelah nonton animatik-nya dan suka.
Untuk mengatur kerja bareng sembilan studio, yang terdiri dari lima untuk animasi, empat untuk post-production, Ryan Adriandhy menunjuk satu studio sebagai pusat koordinasi atau animation director, yang terus terhubung dengannya sebagai sutradara.
Prosesnya pun ketat tapi terstruktur, yakni ada day list dan week list.
“Setiap hari pasti ada yang setor shot, nanti aku review lewat Zoom. Layarnya rame banget, udah kayak ruang krisis negara, hehehe,” candanya.
Progres mingguan juga terus dimonitor lewat sesi evaluasi, revisi, dan update berkala.
Ryan Adriandhy, yang merupakan lulusan Rochester Institute of Technology, bener-bener ngeracik sistem kerja kolaboratif yang padat, tapi tetap manusiawi dan kreatif.
2. Detail Dunia Jumbo yang Indonesia Banget, Hasil Riset Matang Tim Produksi
Kalau kamu udah nonton Jumbo, kamu pasti ngeh sama nuansa khas era 2000-an yang terasa banget.
Mulai dari kalender tahun 1994 di masa kecil Don, telepon umum di pinggir jalan, sampai bentuk rumah-rumah yang “Indonesia banget”.
Semua itu bukan kebetulan, melainkan hasil riset mendalam dari tim desain produksi yang pengin dunia Jumbo terasa nyata dan akrab di hati penonton.
Dengan nada bangga, Ryan Adriandhy cerita betapa senangnya dia saat netizen mulai notice detail kecil, seperti ubin rumah yang khas 90-an.