Namun bagi yang menangkap pesan di balik kekasaran itu, bahasa dalam film ini bukan sekadar alat komunikasi, ia telah berubah menjadi senjata.
Dalam dunia yang digambarkan Joko Anwar, kata-kata kehilangan makna dasarnya sebagai jembatan antarmanusia.
Sejalan dengan pemikiran Wittgenstein bahwa “bahasa adalah bentuk kehidupan”, kebrutalan verbal ini justru memperlihatkan bahwa yang rusak bukan sekadar dialog, melainkan kehidupan itu sendiri.
Film Pengepungan di Bukit Duri menyentuh hati banyak penonton, terutama dari komunitas Tionghoa dan pegiat HAM, yang merasakan kedalaman emosional dalam narasi Edwin, sosok guru yang merepresentasikan trauma kolektif minoritas etnis yang kerap menjadi sasaran amarah sosial.
Pengepungan di Bukit Duri hadir sebagai ruang yang langka, di mana kekerasan berbasis identitas ditampilkan tanpa basa-basi, jujur, tajam, dan menyayat.
Meski dipenuhi gelap dan amarah, film Pengepungan di Bukit Duri ini tidak berhenti di sana.