Namun, pada abad ke-18, jumlah haenyeo melebihi penyelam pria. Beberapa faktor, seperti tingginya angka kematian pria akibat perang dan kecelakaan laut, serta kemampuan fisik wanita yang lebih tahan terhadap suhu dingin, mendorong pergeseran ini.
Selama masa penjajahan Jepang pada abad ke-20, haenyeo diperbolehkan menjual hasil tangkapan mereka, meningkatkan peran ekonomi mereka dalam keluarga dan komunitas.
Mereka membentuk koperasi dan memimpin gerakan perlawanan terhadap kolonialisme, seperti dalam Pemberontakan Jeju tahun 1932.
Kehidupan Penyelam Wanita Jeju atau Haenyeo
Haenyeo menyelam hingga kedalaman 10 meter tanpa alat bantu pernapasan, mengandalkan kemampuan menahan napas dan pengetahuan tentang laut yang diwariskan secara turun-temurun.
Mereka bekerja hingga tujuh jam sehari selama sekitar 90 hari dalam setahun, dan dikenal dengan suara khas saat muncul ke permukaan.
Masyarakat haenyeo bersifat matriarkal, di mana wanita menjadi pencari nafkah utama, sementara pria mengurus rumah tangga.
Tradisi ini memberikan hak-hak sosial yang lebih luas bagi wanita di Jeju dibandingkan dengan wilayah lain di Korea.
Haenyeo tidak hanya dikenal karena keberanian mereka, tetapi juga karena praktik berkelanjutan yang mereka terapkan.
Mereka hanya mengambil hasil laut yang memenuhi ukuran tertentu dan menghormati musim panen, menjaga keseimbangan ekosistem laut.
Sebelum menyelam, mereka berdoa kepada dewi laut, Jamsugut, memohon keselamatan dan hasil tangkapan yang melimpah.
Pelestarian Haenyeo