Mutu sendiri memulai petualangan Eropa-nya bersama Inter Milan pada usia 20 tahun, lalu bersinar di Parma.
Musim 2002-03 jadi pembuktian: 22 gol dari 36 laga membuat banyak klub besar meliriknya. Chelsea—yang baru saja diambil alih Roman Abramovich—tak ragu mengangkutnya ke Premier League.
Di awal, segalanya berjalan sesuai harapan. Tapi hanya sekejap. Setelah awal yang menjanjikan, performa Mutu menurun drastis. Hanya dua gol lagi yang ia cetak dalam 22 laga berikutnya. Situasi makin rumit ketika Mourinho mencium gaya hidup liar Mutu—dan semuanya pecah di pra-musim 2004.
Mutu akhirnya didepak. Tapi, seperti legenda yang enggan menyerah, ia bangkit. Juventus memberinya kesempatan kedua, meski harus menunggu hingga laga terakhir musim 2004-05 untuk kembali merumput.
Kini, dalam refleksi panjang perjalanan hidup dan kariernya, Mutu tak ragu berkata: “Saya pernah berada di antara yang terbaik di dunia, setidaknya selama satu musim. Saya bisa saja menangkan Ballon d'Or… Tapi keputusan buruk menggagalkan semuanya. Meski begitu, saya berusaha tidak terus menyalahkan diri sendiri.”
Satu hal pasti: Adrian Mutu adalah contoh nyata betapa satu keputusan bisa mengubah segalanya—dari bintang terang menjadi cerita "nyaris jadi legenda". (vana)