Lavender marriage juga berfungsi sebagai perisai, memberikan perlindungan bagi individu LGBTQ+ agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan ekspektasi masyarakat.
Dalam penelitian berjudul Prejudice, Social Stress, and Mental Health in Lesbian, Gay, and Bisexual Populations: Conceptual Issues and Research Evidence yang dilakukan oleh Ilan H. Meyer, disebutkan bahwa individu LGBTQ+ sering kali menghadapi tekanan sosial yang berat, prasangka, permusuhan, dan tantangan lain yang dapat memperburuk kesehatan mental mereka.
Oleh karena itu, lavender marriage sering menjadi pilihan, terutama di lingkungan yang konservatif atau di tempat yang masih memandang negatif komunitas LGBTQ+.
3. Anggapan Menikahi Lawan Jenis Bisa Mengubah Orientasi Seksual
Alasan lain di balik lavender marriage adalah kepercayaan bahwa menikahi seseorang dari lawan jenis bisa mengubah orientasi seksual.
Dikutip dari BBC, seorang pria homoseksual mengungkapkan bahwa ayahnya memaksanya untuk menikahi seorang perempuan agar dia bisa kembali dianggap “normal”.
“Aku berasal dari keluarga Sikh, dan dalam budaya kami, generasi yang lebih tua tidak menerima homoseksualitas,” ungkapnya.
“Ayahku memaksa untuk menikahi seorang perempuan karena dia percaya bahwa pernikahan itu bisa ‘menyembuhkan’ orientasi seksualku,” ucapnya lebih lanjut.
Akibatnya, ia merasakan beban emosional yang sangat berat dan memilukan karena tidak ingin memalukan keluarga dengan identitasnya sebagai seorang homoseksual.
Lavender marriage mencerminkan perjuangan individu yang terjebak antara identitas diri dan ekspektasi sosial.
Meskipun penerimaan terhadap komunitas LGBTQ+ semakin berkembang, di beberapa tempat pernikahan semacam ini masih menjadi cara untuk menyembunyikan orientasi seksual. (shi/naf)