Puncak strategi terjadi saat Niac Mitra merekrut Fandi Ahmad dari Singapura pada musim 1982–1983.
Kontraknya mencapai S$75.000 per musim jumlah yang lebih tinggi dari tawaran klub-klub Eropa seperti Ajax Amsterdam.
Ia mencetak 13 gol dan jadi bagian penting dalam gelar juara Galatama klub tersebut.
Turun Tangan di Akhir Era & Transformasi Menuju Mitra Kukar
Pada 24 September 1990, pemilik Agustinus Wenas resmi membubarkan Niac Mitra karena kebijakan baru PSSI yang menggabungkan liga Perserikatan dan Galatama ke dalam zona regional.
Niac Mitra diwajibkan bermain tandang memakai pesawat dan bertanding lawan tim baru yang belum dikenal, membuat beban biaya operasi sangat besar dan penonton pun menyusut mengganggu pendapatan tiket klub.
Pada 1993, Niac Mitra dibangkitkan kembali sebagai Mitra Surabaya oleh Jawa Pos, dengan model manajemen publik dan saham masyarakat.
Pada 1999, setelah degradasi Divisi I, klub dijual dan pindah ke Palangkaraya jadi Mitra Kalteng Putra.
Kemudian pada 2003, klub berpindah ke Tenggarong, Kalimantan Timur, berganti nama lagi menjadi Mitra Kukar.
Niac Mitra adalah contoh menarik bagaimana dana tempat hiburan malam dapat membentuk klub sepak bola profesional dengan manajemen dan sistem bonus inovatif meski tak lepas dari kontroversi.
Perekrutan pemain bintang seperti Fandi Ahmad dan dorongan bonus besar menandai puncak kejayaan di kompetisi sepak bola Indonesia. (fun)